PERKEMBANGAN TEATER DI TASIKMALAYA
Pertumbuhan Teater di kota yang mendapat julukan kota Puisi
(Tasikmalaya), berdasarkan riset Prof.Drs. Saini KM., memang cukup
menggembirakan dengan tumbuh kembangnya ekstra kulikuler di beberapa
sekolal SMP dan SMA, namun dari balik itu semua, secara karya sulit
ditemui adanya pementasan, sebagaimana pertanda sebuah proses/ peristiwa
teater itu terjadi dalam sebuah kelompok teater yang dibangun. Hal ini
bisa dirasakan dengan minimnya pementasan karya-karya siswa binaan yang
di sekolah tersebut mengadakan ekstra kulikuler teater. Tentu saja hal
ini bisa tercermin dari pementasan yang digelar di G.K. Tasikmalaya,
sebagai pusat pementasan. Pun pada kelompok-kelompok teater yang sudah
punya nama.
Ada apa dengan teater di Tasikmalaya? Apakah ruang
diskusi teater sudah tidak menarik lagi untuk diwacanakan dan
diapresiasikan? Ataukah para pembimbing guru ekstra kulikulernya sendiri
kurang menguasai/ keterbatasan dari bahan ajar, sehingga siswa yang
dibina merasa bosan dengan materi yang diberikan? Atau hal ini pun
karena keterbatasan waktu para siswa yang harus membagi waktu dengan
pelajaran lain, manakala teater hanya sebagai pelahjaran ekstra saja?
Ataukah pihak sekolah kurang peduli pada managemen sebuah peristiwa
pementasan teater, manakala dana yang dibutuhkan cukup lumayan besar
dalam sebuah garapannya? Lalu apa fungsi pengajaran sastra drama bagi
siswa? Dimanakah tersimpannya dana ekstra kulikuler pendidikan? Dan
mungkin juga GKT nya sendiri sudah tidak layak pakai?
Terlepas dari
rentetan pertannyaan di atas, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh
penulis, tentu saja hal ini pun merupakan tanggung jawab yang tidak
bisa lepas dari DIKBUD itu sendiri, mengapa? Sedang maju mundurnya
regenerasi bangsa, besar kecilnya terpangku pada tangan pemerintahan
yang sedang memangku jabatan. Dan tentunya, PR bagi para pekerja seni,
khususnya seni teater.
Bila merujuk pada riwayat pertumbuhan teater
di Tasikmalaya, yang pertama kali kemunculan Teater diawali oleh DAMAS
Tasikmalaya (1965 dengan pementasannya Gending Karesmen Galunggung
Ngadeg Tumenggung yang bertempat di Karangresik, yang konon katanya para
sebaian pemainnya, seusai mengadakan pentas, ada yang meracun, ketika
kelompok ini pulang mentas di Jakarta) dan kesininya berdirilah Teater
Epos (1970-an) yang digawangi oleh Bambang Arayana yang banyak juga
mementaskan naskah teater, namun Kelompok epos tidak hanya bergerak
dalam seni peran saja, ada juga seni rupanya, yang terfokus pada belajar
melukis. Sejarah memang bukanlah sesuatu yang penting, bagi sebagian
orang, namun dibalik itu, tidak akan terjadi perubahan kalau tidak ada
sejarah. Manakala hal ini memunculkan kelompok Ambang Wuruk (1989),
Dongkrak (1990), Front X Teater (1999) dan lainnya.
Antara
bayang-bayang sejarah dan kenyataan hari ini, mungkinkah kota
Tasikmalaya sudah melupakan falsafah orang sunda? "Ngalengkah ka hareup
sa jeungkal, sedengkeun ngalengkah ka tukang sa deupa" dalam artian
konteks, merosotnya perkembangan seni teater di kota ini, ataukah benar
adanya surutnya popularitas teater di Tasikmalaya, disebabkan oleh
beberapa pertanyaan di atas?
Namun kemunduran teater ini pun
diimbangi dengan bentuk jenis kesenian lain, seperti seni beluk,
angklung badud yang sebagai ciri khas kesenian Tasikmalaya. Atau hal ini
akan menjadi lain cerita bila di kota ini muncul Dewan Kesenian
Tasikmalaya, sebagai pemerhati dan penyuplai(penyalur dana dari
pemerintah) untuk tumbuh dan berkembangnya seni tradisi dan modern dalam
upaya melestarikan kekayaan budaya, sebagai aset bangsa? Mungkinkah?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar